The Soda Pop

TOM
FALSAFAH GUGON TUHON JAWA

TENTANG PITUTUR/NASEHAT YANG BAIK

Bayu Indrayanto

Nehemia Purnanto

Umur kebudayaan Jawa, yakni sepanjang Jawa itu ada. Sejak itu orang Jawa memiliki citra progresif. Orang Jawa dengan gigih mengekspresikan karyanya lewat budaya. Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin (Suwardi, 2005:1). Karena itu, sepantasnya kita bersyukur memiliki budaya yang adiluhung dan wajib melestarikannya.

Orang Jawa pada jaman dahulu percaya dan yakin kepada mitos atau dongeng yang belum tentu benar kejadiannya dan nyata salah satunya adalah gugon tuhon. Namun sekarang, sifat gugon tuhon itu malah berguna untuk sebagai nasehat atau pandangan hidup. Menurut Subalidinata (1968:16 ) jenis gugon tuhon itu ada tiga macam yaitu :

1. gugon tuhon salugu
2. gugon tuhon kang isi pitutur sinandi
3. gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler

Gugon tuhon salugu itu mirip dengan cerita atau dongeng kuno, yaitu anak (bocah dalam bahasa Jawa) yang termasuk golongan anak sukreta ‘tidak baik/kotor’ dan orang termasuk golongan panganjam-anjam ‘terancam’ itu akan menjadi mangsa atau makanannya Bethara Kala. Supaya anak-anak dan orang-orang terhindar dari atau sebagai mangsa Bethara Kala harus diruwat ‘disucikan’ dan sebagai sarana dipentaskan pula wayang kulit dengan lakon “Amurwakala”.

Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi/baik’, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Namun, ajaran itu tidak jelas, cuma disamarkan. Pada umumnya orang, kalau sudah dikatakan tidak baik atau ora ilok, kemudian takut melanggar. Sebenarnya larangan itu bertujuan untuk ajaran (kawruh), supaya tidak menjalankan berupa tindakan yang melanggar yang disebutkan dalam larangan itu. Larangan itu berisi nasehat, misalnya: lire wong mangan karo ndhodhok, yen dinulu saru ‘baiknya orang makan sambil jongkok itu tidak sopan’, maksudnya orang yang sedang makan sambil jongkong itu tidak nyaman atau tidak sopan dan bisa jadi makanan yang sedang dibawanya akan jatuh.

Gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler ‘gugon tuhon yang termasuk larangan’ gugon tuhon yang berisi nasehat larangan, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Ajaran itu jelas dengan adanya sangsi ketika dilanggar. Misalnya : wong-wong kang manggon ing desa Klepu (kulon jogja) ora kena nanggap wayang kulit, sebab jaman dulu tiap orang itu nanggap ‘mengadakan tontonan’ wayang kulit, setelah selesai pertunjukkan akan meninggal. Kemudian juga pernah terjadi, rumah yang digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit tersebut dilempari batu, namun tidak ada yang tahu siapa yang melempari. Sehingga sampai sekarang orang-orang yang yang ada di desa Klepu merasa takut mengadakan tontonan/pertunjukkan yaitu wayang kulit.

Fenomena budaya tersebut sudah diyakini sejak dahulu dikarenakan adanya pandangan-pandangan yang bersifat irasional, namun dalam makalah ini akan coba dikupas juga pandangan secara rasional. Pandangan-pandangan tersebut diyakini sebagai bentuk larangan atau petuah maupun nasehat yang tidak boleh ditinggalkan. Namun, hal yang akan dibahas hanya mengenai gugon tuhon kang isi pitutur sinandi secara irasional dan rasional melalui pandangan filosofis, yakni ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Kata gugon dari kata gugu + an, artinya mudah sekali percaya pada perkataan orang lain atau dedongengan ‘cerita dongeng’. Kata tuhon dari kata tuhu + an, artinya nyata; setia; sifat yang mudah percaya atau percaya kepada ucapan (dongeng) orang lain (Poerwadarminta, 1939: 611).

Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi/baik’ adapun pembahasannya sebagai berikut:

· Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene

Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene ‘jangan meludahi sumur, karena dikawatirkan akan sumbing bibirnya’. Meludahi sumur akan sumbing bibirnya merupakan bentuk irasional/tidak logis. Sedangkan secara rasional, ludah itu kotor, dan air sumur yang baik harus dalam keadaan bersih yang berguna untuk memasak, minum, mandi dan sebagainya. Bila air sumur diludahi maka akan menjadi kotor dan tidak baik untuk dipergunakan sehari-hari.

· Aja lungguh bantal, mundhak wudunen

Aja lungguh bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk diatas bantal, karena dikawatirkan akan bisulan‘. Secara irasioal bantal yang diduduki karena dikawatirkan akan bisulan, sedangkan secara rasional, bantal merupakan tempat untuk kepala (sirah) – waktu manusia tidur – kemudian dipakai untuk pantat/bokong, hal tersebut tidak pantas dilakukan.

· Simpen lampit diedegake

Simpen lampit diedegake ‘menyimpan pisau diberdirikan’. menyimpan pisau dengan cara diberdirikan akan mengawatirkan, sebab jika ada anak kecil (bocah) yang kesitu dapat karubuhan/terkena pisau.

· Wong ngandhut lungguh tampah

Wong ngandhut lungguh tampah ‘orang yang sedang hamil duduk di tampah’. Orang yang sedang hamil duduk di tampah itu ora ilok. Secara rasional kalau tampah itu di duduki orang yang sedang hamil akan jebol atau rusak, dan bisa mengganggu kesehatan orang yang sedang hamil. Bahkan bila tampah diduduki oleh siapapun logikanya akan rusak karena fungsi tampah bukan untuk diduduki.

· Nyapu bengi

Nyapu bengi ‘menyapu pada malam hari’. Menyapu pada malam hari itu tidak baik karena menyapu pada malam hari tidak bersih serta mbledugi yang sedang tidur, atau bisa jadi menyapu dimalam hari, kotoran yang disapu tidak tampak jelas dikhawatirkan tidak bersih.

· Mbuwang uwuh aneng longan

Mbuwang uwuh aneng longan ‘membuang sampah di bawah kasur’. Itu pastinya tidak baik untuk kesehatan, sebab kalau sampah itu membusuk bisa menjadikan bau tidak sedap/tidak enak, bisa juga kondisi seperti itu untuk sarang bibit penyakit.

· Nyapu diendheg ana tengah lawang

Nyapu diendheg ana tengah lawang ‘menyapu berhenti di tengah lawang’. Ingatlah pintu itu kan jalan, kalau ada uwuh ‘kotoran/sampah’ pasti tidak enak dilihat atau kesannya rumah tidak bersih.

· Ngandhang kebo ana ing njero omah

Ngandhang kebo ana ing njero omah ‘merumahkan kebo di dalam rumah’ itu mestinya tidak baik. Secara irasional, kebo yang ada di dalam rumah akan mengurangi rejeki bahkan biasa jadi akan menolak rejeki yang datang. Sedangkan secara rasional, bau atau aroma kotoran kebo akan memenui rumah, bisa juga makanan yang mau dimakan manusia terkena kotoran sehingga kurang baik untuk tubuh manusia (kurang sehat).

Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada) yang menjelaskan bahwa gugon tuhon merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami oleh rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya dalam hal ini budaya jawa.

Kemudian berdasarkan aspek epistemologis (kebenaran dan kepastian), gugon tuhon dipahami sebagai ungkapan kebenaran yang dapat diperoleh melalui hasil aktivitas budi (pikiran), pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang mendukung ungkapan-ungkapan gugon tuhon menjadi perwujudan budaya Jawa.

Pada akhirnya, berdasarkan aspek aksiologis (kegunaan ilmu pengetahuan), kegunaan utama dari gugon tuhon dalam budaya Jawa adalah memberi pengaruh yang baik terhadap masyarakat Jawa melalui ungkapan-ungkapan gugon tuhon tersebut yang secara langsung juga membentuk citra pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.

Jadi Gugon tuhon merupakan bentuk pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin dalam kebudayaan Jawa. Gugon tuhon dapat dipahami secara irasional maupun rasional yang pada intinya memberikan ajaran atau nasihat yang baik. Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa tersebut dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada), epistemologis (kebenaran dan kepastian), dan aksiologis (kegunaan ilmu pengetahuan).